Minke, Pram Dan Sejarah

Judul: Bumi Manusia

Penulis: Pramoedya Ananta Toer

Jumlah Halaman: 535-551

Cetakan ke-25, November 2017.

Penerbit: Hasta Mitra.

Para pecinta novel berbau sejarah yang kental, atau penikmat novel fiksi berlatar penindasan atas kekuasaan hierarki bangsa kita, saya kira tetralogi pulau buru–empat roman terbesar Pramoedya Ananta Toer–Maestro sastra Realisme Sosialis di Indonesia, mempunyai poin-poin itu.

Roman berlatar ‘sejarah’ 1890-an sampai awal 1900-an. Yang oleh sejarah Indonesia dicatat sebagai masa awal Kebangkitan Nasional.

Roman Bumi Manusia ini,  membawa kita ke masa kolonial–kekuasaan masih melekat dengan beberapa sebutan seperti “Pribumi” dan“Kulit Putih”.

Minke–anak bupati keturunan priyayi Jawa yang beruntung bisa bersekolah H.B.S–sekolah Belanda di Surabaya, ketika sebagian besar keturunan priyayi Jawa belum bisa baca tulis.

Kalau bukan totok (orang Eropa asli) atau Indo (campuran), tidak bisa bersekolah di sana, pastilah orang Jawa berkedudukan tinggi. Minke tak pernah mengakui hal itu, Ia memperkenalkan dirinya sebagai Minke, tanpa nama keluarga, seorang pribumi.

Ilustrasi:
goodreads.com

Maestro memulai ceritanya ketika Minke dan temannya: Robert Suurhof, menantang Minke mengikutinya ke ‘Boerderij Boetenzorg’, rumah seorang Belanda, Herman Mellema.

Di sinilah Minke bertemu dengan Annelies Mellema–putri Herman Mellema dan seorang Pribumi bernama Nyai Ontorsoh.

Hidupnya mulai berubah drastis saat bertemu keluarga misterius itu–Nyai Intosoroh, dan siapa lagi kalau bukan Annelies! Tanpa diduga, dia jatuh cinta pada gadis terindah yang pernah dia lihat, anak perempuan campuran selir pribumi asli dan pengusaha Eropa.

Apa yang berubah dari tokoh Minke setelah bertemu keluarga misterius itu? dia kagum dengan karakter nyai yang kuat, yang dijelaskan oleh pengalamannya sendiri yang keras di masa lalu.

Ia belajar membaca, berbicara bahasa lain, dan menjalankan bisnis dengan bantuan suaminya, dan saat suaminya terbukti tidak berharga, dia masih bisa berdiri di atas kakinya sendiri, menjadi salah satu tokoh paling penting dalam kehidupan Minke sebagai seorang guru dan ibu.

Seiring hubungan Minke dengan Annelies tumbuh lebih dalam, orang-orang di kota ini mulai menyebarkan desas-desus dan menganggapnya melanggar hukum dan memalukan. Meski begitu, Minke tetap rasional dan bertekad membuktikan bahwa pendidikannya tidak sia-sia.

Bahkan setelah hidupnya terancam dan situasinya dibawa ke pengadilan, dia terus mempercayai pentingnya memerangi ketidakadilan pemerintah, tidak hanya untuk menang tapi untuk membela kemanusiaan dan hak-haknya.

Karena pendidikan Minke dan pemikiran liberal, dia dapat berbagi pandangan dan persepsi tentang korupsi di bumi umat manusia ini melalui tulisan-tulisannya yang diterbitkan di sebuah surat kabar.

Usahanya terbukti berhasil saat pendukung hadir dalam pembelaannya untuk menjaga istrinya setelah menikah secara hukum di bawah hukum Islam. Dengan demikian, terbitannya membuktikan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk berubah dan sukses.

Akhirnya, Minke dan ibu mertuanya dikalahkan setelah memperjuangkan hak Annelies. Dalam sidang keputusan Pengadilan Surabaya memutuskan untuk Juffrouw Annelies Mellema akan diangkut dengan kapal dari Surabaya lima hari yang akan datang.

Mendengar keputusan itu, Nyai dan Annelies marah kemudian meninggalkan tempat itu. Keputusan Pengadilan Surabaya menerbitkan amarah banyak orang dan golongan. Serombongan orang Madura menyerang orang Eropa.

Sejak itu pula rumah Nyai Ontosoroh dijaga ketat oleh kepolisian Belanda. Tak seorangpun diizinkan masuk. Bahkan Darsam pun diusir. Dokter Martinet tidak diizinkan masuk. Dan sekarang Minke dan Nyai yang menjaga Annelies.

Hari itu pun tiba, Annelies meminta Minke untuk bercerita mengenai negeri Belanda dan laut. Sampai kemudian datang seorang peremupuan Eropa, memerintahkan Nyai untuk mempersiakan pakaian Annelies.

Ia sembah sungkem kepada mama, menyuruh mama untuk membuang kenangan yang telah berlalu dan mengasuh seorang adik perempuan yang manis, yang tidak menyusahkan seperti Annelies. Tangis mama terus menderu, menyesal tak dapat mempertahankan Annelies.

Dan permintaan terakhir Annelies pada Minke, untuk mengenang kebahagiaan yang pernah mereka alami bersama.

Minke menangisi keperergian cintanya. Memikirkan betapa lemahnya dirinya sebagai seorang pribumi dihadapan orang Eropa.  Sebuah kereta Gubermen telah menunggu dalam apitan Maresose berkuda.

Sayup – sayup terdengar roda kereta menggiling kerikil, makin lama makin jauh, jauh, akhirnya tak terdengar lagi. Annelies dalam pelayaran ke negeri dimana Sri Ratu Wilhelnima bertahta. Minke berjanji akan menyusul Annelies, membawa Annelies kembali lagi.

Pram menggambarkan pagina terakhir dengan sedikit sentuhan, atau masakan seperti di sajikan seorang penulis yang menurut saya membuat pembaca penasaran dan bertanya-tanya. Siapa lagi kalau bukan Seno Gumira Adjidarma.

Jangan risau yang tengah penasaran, sudah tentu Pram sudah menyiapkan episode Dua (Anak Semua Bangsa) yang barang tentu masa kolonialisme lebih kental. Ia dengan apik, akan menyuguhkan kisah-kisah yang tak kalah menarik.

Mengapa saya bilang jangan risau? Karena menurut saya, Bumi Manusia itu, soal cinta Minke dan Annelies.

Tapi ingat! Anak Semua Bangsa, lebih mahal dari Bumi Manusia. Hehehe.

@La Oepi

Maju Kena, Mundur Kena

“Mau rayakan tahun baru, rayakan. Mau cari pacar baru, carilah. Fokus,” lantunan paragraf di atas sering di singgung, di buat kocak senior saya.

Tahun baru, pacar baru. Tahu baru, selera baru. Bukan itu yang kata orang Makassar, “kita (saya) mau dari kamu.”

Tapi dengan tahun baru, banyak orang yang “mungkin” menginginkan jurnalis-jurnalis handal, pikiran-pikiran baru. Mungkin yang malas bisa rajin, yang rajin bisa tambah giat…hahaha, hanya prediksi harapan mereka, yang saya juga tidak tahu.

Pergantian tahun selalu identik dengan ‘hura, ‘hibur dan ‘ria. Detik-detik menjelang pergantian tahun begitu dinanti-nanti dan menjadi saat-saat yang paling mendebarkan.

Ketika jarum pendek menempati angka 12 dan jarum panjang di angka yang sama–pukul 00.00 tepat, secara serentak tumpah ruah segala ekspresi yang menggambarkan berbagai macam rasa dan karsa.

Petasan menghiasi jalanan kota-desa, sedangkan kembang api di tugaskan menghiasi cakrawala tanpa henti. Itu kesepakatannya…

Panggung-panggung hiburan langsung menghentak dengan suara yang tak kalah menggelegar. Di kampung-kampung, mungkin sambutannya sangat…sangat sederhana–meriam bambu.

Para penggila perayaan malam tahun baru seolah-olah melepaskan semua beban yang selama ini menghimpit mereka di tahun sebelumnya–lepaskan setinggi dan sejauh-jauhnya agar tahun baru dilalui dengan perasaan lepas tanpa beban apapun. Perasan inilah yang “mungkin” di tunggu anak-anak Lintas…hehehe.

Hembusan nafas seolah-olah lebih lapang, tak menyesakkan dada, bertiup jauh seiring dengan bunyi meriam bambu atau petasan, dikemas sepuluh biji dalam sachet yang entah buatan siapa…tapi anak seusia saya, pasti sangat akrab dengan tulisan,”cap: Bintang Fajar”.

Buatan, ciptaan siapalah tidak penting, saya hanya seorang bocah! Tidak peduli apa sisi positif negatifnya. Asalkan, aroma mesiu-nya dapat tercium sekaligus menemukan tempat bermain malam itu.

Saya tidak sadar dalam euforia panjang. Namanya juga anak-anak, keramaian adalah latar yang pas untuk bermain. Bila perlu sampai sukses.

“Arua? Mama bilang pulang,” kata anak perempuan mama yang lebih dewasa dariku. Kata dia sambil menyampaikan pesan mama, “perayaan itu, hanya buat orang-orang kafir!”

Sebagai anak kecil, kafir dan petasan tidak memiliki arti mendalam. Saya hanya bocah, masa kecilku dihiasi dengan permainan, permainan dan bermain. Ujungnya, kelelahan baru di sadari–pulang, makan, dan bobo.

Lalu, di sudut manakah kita berada. Apakah hembusan nafas kita habis untuk meniup terompet, meriam bambu atau membakar petasan cap: Bintang Fajar–sumbunya beragam, paling banyak merah, sisahnya hijau dan biru yang bertarung mencari posisi kedua.

Menurut kalian para fans, mana yang menguntungkan? sama-sama rayakan tahun baru dengan kemeriahan, atau baiknya menghirup dan menghembuskan nafas kita dalam dzikir, sujud khusyuk di malam panjang haribaan?

Kalau beta, biarkan si anak bermain. Rayakan sekadarnya saja. Tuhan telah memberikan pilihan untuk Trio Emlamera dan crew-nya tentukan.

Asalkan tidak pakai ganja dan sabu-sabu! Atau tidak melanggar konstitusi, nanti di tangkap BIN…biarkan mereka saja yang pakai, tentunya pasti di hukum BIN-nya tuhan.

Ada juga cara lain tanpa mengganggu orang lain yang lagi khusyuk sujud di malam itu yakni, janji seorang petarung–nanjak Bukit Kayu Satu, Gunung Salahutu, Tuna dan Binaiya–sebagai penutup akhir tahun, beta rasa nanjak Binaiya–pesta akhir tahun yang cocok. Paling tidak, Imam Masjid Kampus tidak terganggu khusyuk-nya.
#La_Oepi

Mama dan Puisinya

Kita terikat dengan puisi. Siapa yang mengajarkannnya? Dengan enteng dan sedikit sombong, aku menjawab, Ibu. Ia adalah puisi. Puisi bagi kehidupan. Puisi yang panjang terbentang. Di setiap denyut nadinya, langkahnya, ataupun helaan napasnya. Maka berbahagialah kaum hawa, notabene kelak menjadi ibu bagi anak-anak mereka”

Mereka (kaum ibu) paham bila mereka tengah mengandung selama 9 bulan, sedang menjalani kodrat. Menyimpan apa yang ada di pikirannya saat menjalani masa kehamilan. Menangguhkan segenap derita–mungkin akan dialami bagi anaknya.

Saat melahirkan seorang anak manusia, kaum ibu merupakan manusia yang hebat dan kuat. Mereka seperti sebuah ‘pintu’ yang mengantarkan sosok manusia baru. Konon, saat di kandungan kehamilan pun, para ibu sudah dapat berbicara dengan bayi yang dikandungnya.

Mereka merasakan setiap denyut kehidupan yang menghuni janinnya. Ketika si jabang bayi berdetak ataupun mulai menendang-nendang di dalam perut. Dan, bagi saya di sanalah mula kata pertama terbentuk. Semacam bahasa Adam yang purba.

Rangkaian percakapan saat dalam kandungan itu tak bersifat verbal belaka. Melainkan menelisik pada kesatuan yang padu.

Ketika itu, kaum ibu seperti teguh untuk memahami tabiat yang ada di kandungannya. Katakanlah untuk bercakap atau mengajari si-anak dengan ‘kata pertama’.

Kata-kata yang memang tak terbentuk dari rangkaian vokal dan konsonan. Meskipun demikian, hadir semacam bahasa batin, yang tak tercakapkan. Hematnya, itulah sebuah puisi.

Kata-kata itu tak berwujud, tapi menemukan maknanya sendiri. Dan hal tersebut dirasakan pula oleh bayi yang ada dalam kandungannya. Jalinan itu menjelma menciptakan sebuah sejarah bagi kehidupan itu sendiri.

Rahim yang tersesak, ketika terjadi pertalian akrab antara ibu dan si-jabang bayi, dan tak mengherankan pula, saat di dalam kandungan, Jems dapat menangkap auran bunyi. Dengan kata lain, jika bunyi itulah yang simetris dengan puisi.

Ibu adalah guru pertama. Ia mengajarkan makna kata…mengajarkan Saparua Puisi.

Tapi, sekali lagi saya mau katakan, “Jika ada perempuan hebat–ibuu, maka di belakang terdapat sosok yang kuat–Arua punya bapa.” Tapi saya tidak membahas Ayah, karena hari ini spesial untuk ibu…

Betapa ibu acapkali hadir menggugah dari dunia kanak-kanak, yang begitu hangat. Terasa ada getir parodi yang menelusup di sana. Justru menciptakan aura mistis yang tak bisa ditipu. Ibu menyimpan sebuah dunia yang dirindukan, untuk tetap diingat.

Dengan pelbagai kedekatannya terhadap anak. Kenangan yang kukuh dan ingin direngkuh, senantiasa tumbuh di setiap perjalanan langkah kita.

Tentunya, kita mesti melupakan sejumlah kegetiran yang lain. Mengapa banyak janin bayi yang diaborsi? Ataupun ada seorang ibu yang tega membuang bayi yang baru saja dilahirkan ke tempat sampah, kardus atau ke dalam kantong plastik hitam? Juga mengapa ibu yang tega memukuli anaknya hingga meninggal dunia?

Saat dunia terasa begitu durjana, dengan berita tragedi ihwal seorang ibu yang tega meninggalkan anaknya, berusaha melupakan, dan parahnya, ia mau melupakan jati dirinya sebagai seorang ibu.

Kasus di atas, sedikit membuat mata kita berkaca-kaca. Kalau saya sih…merah. Lantas bagaimana dengan nasib seorang ibu yang memperjuangkan hidup seorang anak, namun tidak sempat menyusuinya. Karena sang ibu, meninggal.

Bagaimana nasib seorang anak yang di tinggal kedua orang tuanya, tanpa melihat warna baju ayahnya. Tanpa melihat hitam tebal kumis ayahnya. Sekali lagi, tanpa melihat hitam lurus rambut ibunya, atau merasakan kasar tangan ibunya ketika membelai kepala kita saat tidur.

Ada yang hidup tanpa ayah, atau ibu? Masih banyak ibu yang membesarkan kita tanpa ayah. Masih banyak ayah, yang membesarkan kita tanpa ibu. Masih banyak, paman, bibi, nenek dan kakek yang membesarkan kita tanpa kedua orang tua.

Maaf…pembahasan kita sudah keluar jalur dari tema, “Ibu Adalah Puisi”.

Memang dengan sejumlah paradoks itu, kita kerap dihinggapi kenyataan yang menyesakkan dada. Namun setidaknya, peranan ibu tak akan pernah pudar.

Belaian lembut ibu, senantiasa menjaga ‘kata-kata’ di puisi kehidupan, hingga sang anak beranjak dewasa dan membuat sendiri puisi dengan kata-katanya. Kata-kata dari ibunya sendiri.

#La_Oepi

Semangat Hiroshima dan Karya

Judul Buku: HIROSHIMA–Ketika Bom Dijatuhkan.
Penulis: John Hersey.
Penerbit: Komunitas Bambu.
Cetakan: Cetakan Pertama, Mei 2008.
Tebal Buku: 11.5 x 17.5 cm.
Jumlah Halaman: x + 165 hlm.
ISBN: 979-3731-29-x.
Jenis Buku: Nonfiksi.
Illustrasi Cover Depan: “Kehancuran di Pagi Hari”, Hartanto ‘Kebo’ Utomo.

***
Cerita ini diawali saat keenam orang selamat memulai aktivitas nya dipagi hari pada 6 Agustus 1945, beberapa saat sebelum bom dijatuhkan. NonaToshioka Sasaki, seorang juru tulis di departemen personalia sebuah perusahaan, pagi itu ia sedang berbicara dengan gadis disebelah nya.

Dokter Masazaku Fujii, seorang pemilik rumah sakit swasta, baru saja duduk dengan nyaman diterasnya. Nyonya Hatsuyo Nakamura, seorang penjahit yang sudah menjadi janda dengan 3 orang anak, sedang melihat pemandangan aneh dari jendela rumah nya.

Pastur Wilhelm Kleinsorge, seorang pendeta Jerman, sedang membaca masalah Penginjilan. Dokter Terufumi Sasaki, seorang dokter bedah muda, sedang berjalan dikoridor rumah sakit sambil membawa spesimen darah.

Pendeta Kiyoshi Tanimoti, seorang pendeta Gereja Metodia Hiroshima, sedang memulai mengeluarkan pakaian dan barang-barang lainya dari gerobak. Pada saat yang bersaaman itu pula, tepat pukul 08.15 waktu Jepang 6 Agustus 1945, sebuah bom atom meledak diatas Hiroshima.

Diceritakan aktivitas keenam orang tersebut, sebelum dan pada saat mereka melihat kilatan putih tanpa suara.

Satu hal yang mereka rasakan saat itu adalah titik dimana mereka melihat kilat tanpa suara yang kemudian dengan cepat membuat mereka dan benda-benda disekitar nya seolah melayang, hingga akhir nya membuat bangunan dan benda-benda disekitar mereka runtuh hancur berantakan menimpa diri keenam orang selamat tersebut.

Bom hanya menimbulkan sejumlah kecil kebakaran di bagian pusat ledakan. Sisanya berasal dari reruntuhan bahan yang mudah terbakar yang menimpa kompor atau hubungan arus pendek.

Diceritakan pula bagaimana orang-orang selamat tersebut bertahan untuk tetap hidup. Pendeta Tanimoto yang sangat menghkawatirkan istri dan anaknya yang berada di derah lain, berlari sejauh hampir 11 km sambil menahan pedih karna ia hanya bisa melewati mereka yang meminta tolong.

Mulai terjadi kekurangan air bersih, makanan dan obat-obatan. Sampai bom kedua dijatuhkan di Nagasaki pada 9 Agustus, belum banyak bantuan yang datang. Korban-korban pun masih bergeletakan.

Orang-orang selamat tersebut dengan sekuat tenaga tetap menolong. Namun ada juga yang sudah merasa lelah. Terjadi juga beberapa konflik, seperti pasien yang diobati terlebih dahulu apakah yang terluka ringan atau yang terluka berat.

Seminggu setelah bom dijtuhkan, sebuah isu menyatakan bahwa kota Hiroshima telah dihancurkan oleh energi yang dilepas ketika atom- atom terbelah menjadi dua. Lalu dihari lain Kaisar Tenno menyuarakan pengumuman bahwa perang berakhir dengan Jepang sebagai pihak yang kalah.

Meski kecewa, namun warga Jepang mengikuti perintah Kaisar untuk tenang dan membuat pengorbanan sepenuh hati bagi kedamaian abadi dunia.

Mual, lemah, lelah dan rambut rontok adalah dampak dari ledakan yang terjadi. Sebuah penyakit aneh yang mudah berubah-ubah yang selanjutnya dikenal sebagai ‘penyakit akibat radiasi’.

Meski ledakan itu membuat batang-batang pohon menjadi gundul, bangunan-bangunan hancur dan tiang-tiang telepon miring, bom ini tidak merusak bagian bawah tanah, tetapi mempercepat pertumbuhannya.

***

Ditulis oleh pemenang Pulitzer Prize, John Harsey, karya ini adalah sebuah masterpiece terbaik jurnalisme sastra dan terpilih sebagai naskah terbaik jurnalisme Amerika pada abad ke-20 oleh panel wartawan dan akademisi Universitas Colombia.

Buku ini merupakan catatan reportase yang ditulis John Harsey, seorang wartawan yang selama tiga minggu datang ke Jepang dan mewawancarai para korban bom atom.

Jadi ini merupakan laporan kisah nyata yang ditulis dengan gaya fiksi yang unik dengan mengambil sudut pandang berbeda dari keenam orang selamat menjadikan-nya menarik. Alur-nya begitu alami.

John Harsey begitu detail menggambarkan setting kejadian, bagaimana suasana saat itu, keadaan para korban bom dan kehancuran yang diakibatkan bisa langsung terbayang. Bahasa yang digunakan tidak membosankan dan tidak kaku.

Kisah mereka membuat terhanyut betapa keras nya hidup di masa perang dan membuat kita sadar mahkota utama hidup adalah kemanusiaan.

Kehidupan keenam orang ini, yang merupakan sedikit diantara mereka yang paling beruntung di Hiroshima, tidak akan pernah sama lagi. Ini adalah cerita yang akan mengusik sisi kemanusiaan setiap orang. Ini adalah tentang pilihan dan keras nya hidup di masa perang.

Yang menarik dan luar biasa dari masyarakat Jepang saat mengalami peristiwa itu yaitu ada satu hal. Satu hal yang sama-sama mereka rasakan adalah semangat kebangsaan yang anehnya semakin meningkat.

Diceritakan bahwa seorang siswi yang tertimpa pagar dan tak bisa bergerak mulai menyanyikan lagu Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang. Ada pula yang saat tertimpa reruntuhan tapi ia tetap memantapkan niat untuk mengabdi jiwa nya bagi negara mereka dan memnerikan Banzai bagi Kaisar mereka. Begitu mengharukan.

Hiroshima merupakan kisah nyata enam orang yang berjuang pada saat-saat tersulit di Jepang ketika bom dijatuhkan. Kisah yang menggambarkan hidup ditengah konflik peperangan yang akan membuat kita lebih mensyukuri hidup kita sekarang.

Begitu banyak hal menarik yang ingin saya tuliskan dari buku ini. Mungkin yang terakhir ini bisa menjadi renungan kita umat manusia, kutipan surat Pendeta Tanimoto tentang perasaan nya yang ditulis kepada seorang Amerika :

“Beberapa di antara kami mengaggap bom ini memiliki kategori yang sama dengan gas beracun dan kami menentang penggunaannya terhadap populasi sipil. Yang lain nya beranggapan bahwa dalam perang total, aebagaimana yang terjadi di Jepang, tidak ada perbedaan antara warga sipil dan tantara”.

Bom itu merupakan sebuah kekuatan efektif yang mengakhiri pertumpahan darah, memberi peringatan pada Jepang untuk menyerah, dan karena-nya dapat menghindari kehancuran total.

Sangat logis jika mereka yang mendukung perang total secara prinsip tidak dapat mengajukan keberatan terhadap perang melawan penduduk sipil. Inti permasalahan-nya adalah, apakah perang total itu sendiri dapat dibenarkan? Bahkan jika perang itu sendiri memiliki tujuan yang benar.

Apakah hal ini tidak memiliki keburukan material dan spiritual sebagai konsekuensi-nya yang bisa melebihi hasil baik yang mungkin tercapai? Kapan-kah para ahli moral kita memberikan jawaban yang jelas terhadap pertanyaan ini?”

@La-Oepi