Mama dan Puisinya

Kita terikat dengan puisi. Siapa yang mengajarkannnya? Dengan enteng dan sedikit sombong, aku menjawab, Ibu. Ia adalah puisi. Puisi bagi kehidupan. Puisi yang panjang terbentang. Di setiap denyut nadinya, langkahnya, ataupun helaan napasnya. Maka berbahagialah kaum hawa, notabene kelak menjadi ibu bagi anak-anak mereka”

Mereka (kaum ibu) paham bila mereka tengah mengandung selama 9 bulan, sedang menjalani kodrat. Menyimpan apa yang ada di pikirannya saat menjalani masa kehamilan. Menangguhkan segenap derita–mungkin akan dialami bagi anaknya.

Saat melahirkan seorang anak manusia, kaum ibu merupakan manusia yang hebat dan kuat. Mereka seperti sebuah ‘pintu’ yang mengantarkan sosok manusia baru. Konon, saat di kandungan kehamilan pun, para ibu sudah dapat berbicara dengan bayi yang dikandungnya.

Mereka merasakan setiap denyut kehidupan yang menghuni janinnya. Ketika si jabang bayi berdetak ataupun mulai menendang-nendang di dalam perut. Dan, bagi saya di sanalah mula kata pertama terbentuk. Semacam bahasa Adam yang purba.

Rangkaian percakapan saat dalam kandungan itu tak bersifat verbal belaka. Melainkan menelisik pada kesatuan yang padu.

Ketika itu, kaum ibu seperti teguh untuk memahami tabiat yang ada di kandungannya. Katakanlah untuk bercakap atau mengajari si-anak dengan ‘kata pertama’.

Kata-kata yang memang tak terbentuk dari rangkaian vokal dan konsonan. Meskipun demikian, hadir semacam bahasa batin, yang tak tercakapkan. Hematnya, itulah sebuah puisi.

Kata-kata itu tak berwujud, tapi menemukan maknanya sendiri. Dan hal tersebut dirasakan pula oleh bayi yang ada dalam kandungannya. Jalinan itu menjelma menciptakan sebuah sejarah bagi kehidupan itu sendiri.

Rahim yang tersesak, ketika terjadi pertalian akrab antara ibu dan si-jabang bayi, dan tak mengherankan pula, saat di dalam kandungan, Jems dapat menangkap auran bunyi. Dengan kata lain, jika bunyi itulah yang simetris dengan puisi.

Ibu adalah guru pertama. Ia mengajarkan makna kata…mengajarkan Saparua Puisi.

Tapi, sekali lagi saya mau katakan, “Jika ada perempuan hebat–ibuu, maka di belakang terdapat sosok yang kuat–Arua punya bapa.” Tapi saya tidak membahas Ayah, karena hari ini spesial untuk ibu…

Betapa ibu acapkali hadir menggugah dari dunia kanak-kanak, yang begitu hangat. Terasa ada getir parodi yang menelusup di sana. Justru menciptakan aura mistis yang tak bisa ditipu. Ibu menyimpan sebuah dunia yang dirindukan, untuk tetap diingat.

Dengan pelbagai kedekatannya terhadap anak. Kenangan yang kukuh dan ingin direngkuh, senantiasa tumbuh di setiap perjalanan langkah kita.

Tentunya, kita mesti melupakan sejumlah kegetiran yang lain. Mengapa banyak janin bayi yang diaborsi? Ataupun ada seorang ibu yang tega membuang bayi yang baru saja dilahirkan ke tempat sampah, kardus atau ke dalam kantong plastik hitam? Juga mengapa ibu yang tega memukuli anaknya hingga meninggal dunia?

Saat dunia terasa begitu durjana, dengan berita tragedi ihwal seorang ibu yang tega meninggalkan anaknya, berusaha melupakan, dan parahnya, ia mau melupakan jati dirinya sebagai seorang ibu.

Kasus di atas, sedikit membuat mata kita berkaca-kaca. Kalau saya sih…merah. Lantas bagaimana dengan nasib seorang ibu yang memperjuangkan hidup seorang anak, namun tidak sempat menyusuinya. Karena sang ibu, meninggal.

Bagaimana nasib seorang anak yang di tinggal kedua orang tuanya, tanpa melihat warna baju ayahnya. Tanpa melihat hitam tebal kumis ayahnya. Sekali lagi, tanpa melihat hitam lurus rambut ibunya, atau merasakan kasar tangan ibunya ketika membelai kepala kita saat tidur.

Ada yang hidup tanpa ayah, atau ibu? Masih banyak ibu yang membesarkan kita tanpa ayah. Masih banyak ayah, yang membesarkan kita tanpa ibu. Masih banyak, paman, bibi, nenek dan kakek yang membesarkan kita tanpa kedua orang tua.

Maaf…pembahasan kita sudah keluar jalur dari tema, “Ibu Adalah Puisi”.

Memang dengan sejumlah paradoks itu, kita kerap dihinggapi kenyataan yang menyesakkan dada. Namun setidaknya, peranan ibu tak akan pernah pudar.

Belaian lembut ibu, senantiasa menjaga ‘kata-kata’ di puisi kehidupan, hingga sang anak beranjak dewasa dan membuat sendiri puisi dengan kata-katanya. Kata-kata dari ibunya sendiri.

#La_Oepi

Tinggalkan komentar